Rabu, 25 Oktober 2017

Gua Keramat (Cerita Rakyat Rembang, jawa tengah)

Gua Keramat
(Cerita Rakyat Rembang, jawa tengah)

Gambar terkait
Hasil gambar untuk cerita rakyat gua keramat rembang

Pada zaman dahulu, daerah Rembang Jawa Tengah pernah terjadi kekeringan yang panjang.Sungai-sungai kering. Orang desa berkumpul untuk berunding mencari jalan keluar. Salah satu penduduk mengusulkan agar menemui Kiai Mojo Agung di Tuban. Beliau dikenal sebagai kiai yang saleh.
Akhirnya seluruh penduduk memutuskan untuk memohon bantuan Kiai Mojo Agung. Mereka menyampaikan maksud kedatangan dan Kiai Mojo Agung menyanggupi dan akan datang sendiri ke Rembang.
Pada suatu hari dinantikan, Kiai Mojo Agung datang. Penduduk yang tampak miskin menyambut kedatangan Kiai MojoAgung.Hati Kiai Mojo Agung terharu menyaksikan keadaan penduduk. Lalu ia tancapkan tongkat besi ke tanah. Ia mulai berdoa. Ia berdoa cukup lama. Selesai berdoa, Kiai mengangkat kepalanya memandang berkeliling. Terdengar suaranya berkumandang.
“Akan datang air dan kura-kura.”
Dengan penuh keheranan,rakyat Rembang menyaksikan gunung batu karang tiba-tiba merekah dan dari guamengalir air jernih.Dalam air itu berenang ikan dan kura-kura.Rakyat Rembang berlutut di hadapan kiai.
Rakyat senang dan memanfaatkan air itu.Kiai MojoAgung membuat tandaberupa gambar sebuah gunung pada dinding gua.Hanya air yang keluar dari gua yang boleh dipergunakan.Selesai itu Kiai Mojo Agung memegang tongkatnya lalu pulang ke Tuban.
Hingga saat ini air dalam gua tersebut dianggap keramat oleh penduduk Rembang.Para orangtua menceritakan mukjizat yang dibuat Kiai Mojo Agung demi menolong rakyat Rembang.
Amanat : Sesama manusia kita harus saling menolong karena setiap orang itu saling membutuhkan.Agar masalah yang dihadapi menjadi ringan karena bantuan dari orang.Apabila kita memberi bantuan kepada oranglain maka apabila kita membutuhkan pertolongan,kita akan diberi pertolongan dari orang lain.
Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita tersebut adalah:
Nilai Religi
Kiai Mojo Agung berdoa kepada ALLAH SWT untuk meminta bantuan agar air datang di daerah Rembang yang sedang mengalami kekeringan.

Nilai Sosial
Kiai Mojo Agung mau membantu penduduk Rembang dalam menghadapi masalah tentang kekeringan.
Nilai Budaya
Masyarakat Rembang menganggap keramat air dalam gua tersebut hingga sampai saat ini.

Asal Mula Telaga Biru (cerita rakyat halmahera)

(cerita rakyat halmahera)

Hasil gambar untuk asal mula telaga biru
Dibelahan bumi Halmahera Utara tepatnya di wilayah Galela dusun Lisawa, di tengah ketenangan hidup dan jumlah penduduk yang masih jarang (hanya terdiri dari beberapa rumah atau dadaru), penduduk Lisawa tersentak gempar dengan ditemukannya air yang tiba-tiba keluar dari antara bebatuan hasil pembekuan lahar panas. Air yang tergenang itu kemudian membentuk sebuah telaga.Airnya bening kebiruan dan berada di bawah rimbunnya pohon beringin. Kejadian ini membuat bingung penduduk. Mereka bertanya-tanya dari manakah asal air itu? Apakah ini berkat ataukah pertanda bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Apa gerangan yang membuat fenomena ini terjadi?
Berita tentang terbentuknya telaga pun tersiar dengan cepat. Apalagi di daerah itu tergolong sulit air. Berbagai cara dilakukan untuk mengungkap rasa penasaran penduduk. Upacara adat digelar untuk menguak misteri timbulnya telaga kecil itu. Penelusuran lewat ritual adat berupa pemanggilan terhadap roh-roh leluhur sampai kepada penyembahan Jou Giki Moi atau Jou maduhutu (Allah yang Esa atau Allah Sang Pencipta) pun dilakukan.
Acara ritual adat menghasilkan jawaban “Timbul dari Sininga irogi de itepi Sidago kongo dalulu de i uhi imadadi ake majobubu” (Timbul dari akibat patah hati yang remuk-redam, meneteskan air mata, mengalir dan mengalir menjadi sumber mata air).
Dolodolo (kentongan) pun dibunyikan sebagai isyarat agar semua penduduk dusun Lisawa berkumpul. Mereka bergegas untuk datang dan mendengarkan hasil temuan yang akan disampaikan oleh sang Tetua adat. Suasana pun berubah menjadi hening. Hanya bunyi desiran angin dan desahan nafas penduduk yang terdengar.
Tetua adat dengan penuh wibawa bertanya “Di antara kalian siapa yang tidak hadir namun juga tidak berada di rumah”. Para penduduk mulai saling memandang. Masing-masing sibuk menghitung jumlah anggota keluarganya. Dari jumlah yang tidak banyak itu mudah diketahui bahwa ada dua keluarga yang kehilangan anggotanya. Karena enggan menyebutkan nama kedua anak itu, mereka hanya menyapa dengan panggilan umum orang Galela yakni Majojaru (nona) dan Magohiduuru (nyong). Sepintas kemudian, mereka bercerita perihal kedua anak itu.
Majojaru sudah dua hari pergi dari rumah dan belum juga pulang. Sanak saudara dan sahabat sudah dihubungi namun belum juga ada kabar beritanya. Dapat dikatakan bahwa kepergian Majojaru masih misteri. Kabar dari orang tua Magohiduuru mengatakan bahwa anak mereka sudah enam bulan pergi merantau ke negeri orang namun belum juga ada berita kapan akan kembali.
Majojaru dan Magohiduuru adalah sepasang kekasih. Di saat Magohiduuru pamit untuk pergi merantau, keduanya sudah berjanji untuk tetap sehidup-semati. Sejatinya, walau musim berganti, bulan dan tahun berlalu tapi hubungan dan cinta kasih mereka akan sekali untuk selamanya. Jika tidak lebih baik mati dari pada hidup menanggung dusta.
Enam bulan sejak kepergian Magohiduuru, Majojaru tetap setia menanti. Namun, badai rupanya menghempaskan bahtera cinta yang tengah berlabuh di pantai yang tak bertepi itu.
Kabar tentang Magohiduuru akhirnya terdengar di dusun Lisawa. Bagaikan tersambar petir disiang bolong Majojaru terhempas dan jatuh terjerembab. Dirinya seolah tak percaya ketika mendengar bahwa Magohiduuru so balaeng deng nona laeng. Janji untuk sehidup-semati seolah menjadi bumerang kematian.
Dalam keadaan yang sangat tidak bergairah Majojaru mencoba mencari tempat berteduh sembari menenangkan hatinya. Ia pun duduk berteduh di bawah pohon Beringin sambil meratapi kisah cintanya.
Air mata yang tak terbendung bagaikan tanggul dan bendungan yang terlepas, airnya terus mengalir hingga menguak, tergenang dan menenggelamkan bebatuan tajam yang ada di bawah pohon beringin itu. Majojaru akhirnya tenggelam oleh air matanya sendiri.
Telaga kecil pun terbentuk. Airnya sebening air mata dan warnanya sebiru pupil mata nona endo Lisawa. Penduduk dusun Lisawa pun berkabung. Mereka berjanji akan menjaga dan memelihara telaga yang mereka namakan Telaga Biru.


Asal Mula Sungai Ombilin dan Danau singkarak (cerita rakyat sumatra barat)

Asal Mula Sungai Ombilin dan Danau singkarak

(cerita rakyat sumatra barat)

Hasil gambar untuk sungai ombilin dan danau singkarak
Alkisah, di sebuah kampung di daerah Sumatra Barat, hiduplah keluarga Pak Buyung. Ia tinggal di sebuah gubuk di pinggir laut bersama istri dan seorang anaknya yang masih kecil bernama Indra. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, Pak Buyung bersama istrinya mengumpulkan hasil-hasil hutan dan menangkap ikan di laut. Setiap pagi mereka pergi ke hutan di Bukit Junjung Sirih untuk mencari manau, rotan, dan damar untuk dijual ke pasar. Jika musim ikan tiba, mereka pergi ke laut menangkap ikan dengan menggunakan pancing, bubu ataupun jala.

Ketika sudah berumur sepuluh tahun, Indra sering membantu kedua orangtuanya ke hutan maupun ke laut. Betapa senang hati Pak Buyung dan istrinya mempunyai anak yang rajin seperti Indra. Namun, ada satu hal yang membuat mereka risau, karena si Indra memiliki suatu keanehan, yaitu selera makannya amatlah berlebihan. Dalam sekali makan, ia dapat menghabiskan nasi setengah bakul dengan lauk beberapa piring.

Pada suatu ketika, musim paceklik tiba. Baik hasil hutan maupun hasil laut sangat sulit diperoleh. Untuk itu, keluarga Pak Buyung harus berhemat terutama menahan selera makan. Mereka harus makan apa adanya. Jika tidak ada nasi, mereka makan ubi atau pun keladi (talas). Cukup lama musim paceklik berlangsung, sehingga mereka semakin kesulitan mendapatkan makanan. Hal itu rupanya membuat mereka lebih peduli pada diri sendiri daripada terhadap anaknya. Kesulitan mendapatkan makanan itu juga membuat mereka hampir berputus asa. Mereka sering bermalas-malasan pergi mencari rotan ke hutan dan mencari ikan ke laut.

Sudah beberapa hari keluarga Pak Buyung hanya makan ubi bakar. Tentu hal itu tidak mengenyangkan perut si Indra. Suatu hari, Indra menangis minta makanan kepada kedua orangtuanya.

“Ayah, carikan saya makanan! Saya sangat lapar,” keluh Indra.
“Hei, anak malas! Kalau kamu lapar carilah sendiri makanan ke hutan atau ke laut sana!” seru ayahnya dengan nada kesal.
“Pak! Bukankah anak kita masih kecil? Tentu dia belum bisa mencari makanan sendiri,` sahut sang Ibu.
“Iya, dia memang masih anak-anak. Tapi, dia yang paling banyak makannya,” bantah sang suami.

Mendengar bantahan suaminya itu, sang Istri pun diam. Ia kemudian membujuk Indra agar berangkat sendiri ke Bukit Junjung Sirih untuk mencari hasil-hasil hutan di Bukit. Indra pun menuruti nasehat ibunya. Sebelum berangkat ke hutan, Indra terlebih dahulu memberi makan seekor ayam piaraannya yang bernama Taduang. Si Taduang adalah seekor ayam yang pandai. Setiap kali tuannya (si Indra) pulang dari hutan, ia selalu berkokok menyambut kedatangan tuannya.

Menjelang siang, Indra pulang dari hutan tanpa membawa hasil. Keesokan harinya, ayahnya memerintahkannya pergi ke laut untuk memancing ikan. Saat Indra pergi ke laut, ayah dan ibunya hanya tidur-tiduran di gubuk. Tampaknya, mereka benar-benar sudah putus asa menghadapi kesulitan hidup. Keadaan demikian berlangsung selama sebulan, sehingga Indra merasa tubuhnya sangat lelah dan berniat untuk beristirahat beberapa hari.

Pada suatu hari, sepulang dari laut mencari ikan, Indra berkata kepada ayahnya:
“Ayah! Badanku terasa sangat letih. Bolehkah saya beristirahat untuk beberapa hari?” pinta Indra.
“Apa katamu? Dasar anak malas! Kamu tidak boleh beristirahat. Besok kamu harus tetap kembali ke laut mencari ikan,” ujar sang Ayah.

Oleh karena tidak ingin membatah perintah ayahnya, keesokan harinya Indra pergi ke laut mencari ikan. Ketika Indra berangkat ke laut, secara diam-diam ibunya juga berangkat ke laut. Tapi, ia menuju ke sebuah tanjung, agak jauh dari tempat Indra mencari ikan. Sementara ayahnya pergi ke hutan.

Menjelang siang, Pak Buyung kembali dari hutan dengan membawa seikat ijuk. Sesampainya di rumah, ia melihat istrinya sedang membersihkan pensi (sejenis kerang berukuran kecil).

“Sedang apa, Bu?” tanya Pak Buyung kepada istrinya.
“Sedang membersihkan pensi, Pak! Tadi ketika hendak mencari ikan di laut, aku melihat banyak warga dari kampung tetangga sedang mencari pensi. Akhirnya aku pun ikut mencari pensi bersama mereka,” jawab istrinya.

“Bagaimana cara memasaknya? Bukankah Ibu belum pernah memasak pensi sebelumnya? ” tanya Pak Buyung.
“Tenang, Pak! Kata seorang warga dari kampung tetangga, daging pensi enak jika dimasak pangek[1],” jelas istrinya.
“Wah, kalau begitu, kita makan enak siang ini,” ucap Pak Buyung sambil mengusap-usap perutnya yang sudah keroncongan.

Setelah membersihkan pensi itu, sang Istri pun segera membuatkan bumbu dan memasaknya. Tak lama kemudian, aroma masakan pangek pun tercium oleh Pak Buyung.

“Wah, harum sekali aromanya. Istriku memang pintar memasak,” puji Pak Buyung seraya mendekati istrinya yang sedang masak di dapur.
“Bu, apakah pangek ini cukup kita makan bertiga?” tanya Pak Buyung.
“Tentu saja cukup,” jawab istrinya.
“Apakah Ibu sudah lupa kalau si Indra makannya banyak? Pangek ini pasti tidak cukup dia makan sendiri,” kata Pak Buyung.
`Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan, Pak?” tanya istrinya.
“Bagaimana kalau kita makan diam-diam, selagi si Indra masih berada di laut,” saran Pak Buyung.
“Tapi, sebentar lagi dia pulang,” kata istrinya.
“Kalau dia pulang, pasti akan ketahuan.,” ucap Pak Buyung.
“Bagaimana Bapak bisa mengetahuinya!” tanya istrinya.
“Jika si Taduang berkokok, berarti si Indra telah pulang,” jawab Pak Buyung.

Sang Istri pun mengangguk-angguk mendengar jawaban suaminya. Keduanya pun menyantap pangek itu dengan lahapnya. Namun, baru makan beberapa suap, tiba-tiba ayam peliharaan Indra berkokok. Mendengar kokok ayam itu, kedua suami-istri itu segera mencuci tangan, lalu membereskan makanan dan menyembunyikannya di bawah tempat tidur. Ketika Indra masuk ke gubuk, ia melihat kedua orangtuanya sedang duduk-duduk bersantai. Kedua orangtuanya terlihat tenang, seakan-akan tidak ada sesuatu yang terjadi.

“Hei, Indra! Mana ikan yang kamu peroleh?” tanya ayahnya.
“Maaf, Ayah! Hari ini aku tidak memperoleh ikan?” jawab Indra dengan wajah kusut.
“Kenapa kamu pulang kalau belum memperoleh ikan?” tanya ayahnya.
“Maaf, Ayah! Saya sangat letih dan lapar,” jawab Indra.
“Hei, apa yang bisa kamu makan kalau tidak memperoleh ikan?” sang Ayah kembali bertanya.
“Saya sudah berusaha, Ayah. Tapi belum berhasil,” jawab Indra.
“Ayah, Ibu! Adakah sesuatu yang bisa saya makan. Sekedar pengganjal perut,” pinta Indra kepada kedua orangtuanya.
“Tidak! Hari ini tidak ada makanan untuk anak pemalas,” kata ayahnya.
“Tapi, Ayah! Saya lapar sekali,” keluh Indra sambil memegang perutnya.
“Baiklah! Kamu boleh makan, tapi kamu harus mencuci ijuk ini sampai bersih,” sahut ibunya sambil menyerahkan ijuk yang tadi dibawa suaminya dari hutan.

Indra pun segera pergi ke laut mencuci ijuk itu karena ingin mendapatkan makanan dari kedua orangtuanya. Ketika Indra berangkat ke laut, kedua orangtuanya kembali melanjutkan acara makan mereka.

“Wah, meskipun baru kali ini Ibu memasak pangek pensi, tapi rasanya lezat sekali,” sanjung Pak Buyung kepada istrinya.

Sang Istri tersenyum mendengar sanjungan suaminya. Kemudian sepasang suami istri itu makan pangek dengan lahapnya. Mereka baru berhenti makan setelah perut mereka benar-benar sudah penuh. Selesai makan, mereka kembali menyembunyikan makanan yang masih tersisa di bawah tempat tidur. Tidak beberapa lama kemudian, si Taduang terdengar berkokok, pertanda tuannya telah kembali dari laut. Ketika masuk ke dalam gubuk, Indra melihat kedua orangtuanya masih duduk bersantai.

“Bagaimana? Apakah ijuk itu sudah bersih kamu cuci?” tanya ibunya.
“Sudah, Bu,” jawab Indra sambil meletakkan ijuk itu di depan ibunya.
“Hah! Kenapa masih hitam begini? Kamu harus mencucinya hingga berwarna putih,” ujar ibunya.
“Tapi, Bu! Aku sudah berusaha mencucinya berkali-kali, bahkan aku menggosoknya dengan campuran pasir, tapi masih tetap berwarna hitam,” sanggah Indra.
“Ah, alasan saja! Cuci lagi ijuk itu ke laut!” seru ayahnya.

Dengan langkah sempoyongan, Indra pun kembali ke laut. Sesampainya di laut, ia terus berusaha mencuci dan menggosok ijuk itu hingga berkali-kali, tetapi tetap saja berwarna hitam. Rupanya Indra yang masih anak-anak tidak mengetahui jika ijuk itu memang pada dasarnya berwarna hitam. Meskipun ijuk itu berkali-kali dicuci dan digosok, tentu tidak akan pernah berwarna putih.

Menjelang senja, Indra kembali ke gubuknya. Ketika masuk ke ruang tengah gubuknya, ia tidak lagi melihat kedua orangtuanya duduk-duduk. Dengan pelan-pelan, ia melangkah menuju ke ruang dapur. Betapa terkejutnya ia ketika melihat kedua orangtuanya sedang tertidur pulas di ruang dapur. Di sekeliling mereka berserakan piring makan, bakul nasi, dan panci pangek pensi yang telah kosong. Hanya kuah dengan beberapa cuil daging pensi yang tersisa.

Alangkah sedihnya hati Indra menyaksikan semua itu. Kini ia menyadari bahwa kedua orangtuanya telah menipu dan membohonginya. Namun, sebagai anak yang berbakti, dia tidak ingin marah kepada mereka yang telah melahirkannya. Ia pun berjalan keluar dari gubuknya sambil mengusap air mata yang menetes di pipinya. Saat berada di luar gubuk, ia langsung menangkap ayam kesayangannya, si Taduang. Kemudian ia duduk di atas batu di samping gubuknya sambil mengusab-usap bulu si Taduang.

“Taduang! Rupanya Ayah dan Ibuku telah menipuku. Untuk apalagi aku tinggal bersama mereka di sini, kalau mereka sudah tidak menyayangiku lagi,” kata Indra kepada ayamnya.

Mendengar pernyataan Indra, ayam itu pun berkokok berkali-kali, pertanda bahwa ia mengerti perasaan tuannya. Si Taduang kemudian mengepak-ngepakkan sayapnya. Indra pun mengerti bahwa ayam kesayangannya itu akan mengajaknya pergi meninggalkan kampung itu. Dengan cepat, Indra pun segera berpegangan pada kaki si Taduang. Beberapa saat kemudian, si Taduang terbang ke udara, sementara Indra tetap berpegangan pada kakinya. Saat tubuh Indra terangkat, batu tempat Indra duduk itu juga ikut terangkat. Anehnya, semakin tinggi mereka terbang, batu itu semakin membesar. Akhirnya, si Taduang pun sudah tidak kuat lagi membawa terbang si Indra bersama batu besar itu. Melihat hal itu, Indra pun segera menyentakkan kakinya, sehingga batu besar itu melesat menuju ke bumi dan menghantam salah satu bukit yang ada di sekitar lautan. Hantaman batu itu membentuk sebuah lubang memanjang. Dengan cepat, air laut pun mengalir ke arah lubang itu dan menembus bukit, sehingga membentuk aliran sungai.

Konon, itulah yang menjadi asal mula Sungai Batang Ombilin, yang bermuara ke daerah Riau. Semakin lama air laut itu semakin menyusut, sehingga lautan itu berubah menjadi Danau Singkarak yang hingga kini menjadi kebanggaan masyarakat Solok. Sementara Indra yang diterbangkan oleh ayam kesayangannya, si Taduang, hingga kini tidak diketahui keberadaannya.
Demikian cerita Asal Mula Sungai Ombilin dan Danau Singkarak dari daerah Sumatra Barat, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah akibat buruk dari sifat suka mementingkan diri sendiri. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku Pak Bujang bersama istrinya yang lebih mementingkan diri mereka sendiri dan melalaikan anak mereka yang sedang kelaparan. Akibatnya, mereka pun ditinggal pergi oleh anaknya. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

kerja beramai,

makan sendiri


Asal Mula Nama Pamboang (cerita rakyat sulawesi barat)

Asal Mula Nama Pamboang
(cerita rakyat sulawesi barat)


Hasil gambar untuk lukisan orang sulawesi
Pamboang adalah nama kecamatan di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, Indonesia. Konon, kecamatan yang identik dengan Mandar[1] ini dulunya bernama kampung Pallayarang Tallu. Namun karena terjadi sebuah peristiwa, sehingga namanya berubah menjadi Pamboang. Peristiwa apa sebenarnya yang terjadi, sehingga nama daerah itu berubah menjadi Pamboang? Peristiwa tersebut diceritakan dalam cerita rakyat Asal Mula Nama Pamboang berikut ini.

* * *

Alkisah, di Kampung Benua, Majene, Sulawesi Barat, hiduplah tiga orang pemuda yang hendak memperluas lahan perladangan dan permukiman penduduk, serta membangun pelabuhan di pantai. Ketiga pemuda tersebut bergelar I Lauase, I Lauwella, dan I Labuqang. Gelar tersebut mereka sandang berdasarkan pada tugas mereka dalam mewujudkan keinginan tersebut.

Pemuda pertama bergelar I Lauase, karena dalam menjalankan tugasnya membuka hutan lebat menjadi lahan perladangan selalu menggunakan wase (kapak). Pemuda kedua bergelar I Lauwella, karena bertugas untuk membabat dan membersihkan wella (rumput) laut di pantai yang akan dijadikan sebagai wilayah perdagangan. Pemuda ketiga bergelar I Labuqang, karena bertugas untuk meratakan tanah di pantai yang berlubang akibat ulah buqang (kepiting).

Ketiga pemuda tersebut melaksanakan tugas di wilayah mereka masing-masing. I Lauase bekerja di daerah hutan untuk membuka lahan perladangan, sedangkan I Lauwella dan I Labuqang bekerja di daerah pantai. I Lauwella membersihkan rumput laut, sedangkan I Labuqang meratakan tanah yang berlubang di pantai. Ketiga pemuda tersebut bekerja dengan penuh semangat di wilayah kerja masing-masing.

Menjelang sore hari, ketiga pemuda itu kembali ke kampung untuk beristirahat. Sebelum tidur, mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing setelah melalui hari pertama.

“Hari ini saya sudah merobohkan puluhan pohon besar,” cerita I Lauase.

“Kalian bagaimana?” tanya I Lauase kepada I Lauwella dan I Labuqang.

“Saya sudah banyak membersihkan rumput laut di pantai,” jawab I Lauwella.

“Saya juga sudah meratakan puluhan lubang kepiting,” sahut I Labuqang.

“Kalau begitu, saya perkirakan dalam waktu seminggu kita sudah dapat menyelesaikan tugas kita masing-masing,” kata I Lauase.

“Benar! Kita harus bekerja lebih keras lagi,” sahut I Lauwella.

Ternyata benar perkiraan mereka, setelah seminggu bekerja keras, semua pekerjaan mereka telah selesai. Kemudian ketiga pemuda tersebut menjadi penguasa di wilayah yang mereka buka. I Lauase menanami ladangnya dengan berbagai jenis tanaman palawija, sedangkan I Lauwella dan I Labuqang yang wilayah kekuasaannya berada di daerah pantai bekerja sama membangun sebuah pelabuhan untuk dijadikan sebagai sarana perdagangan.

Semakin hari semakin banyak penduduk yang ikut berladang bersama dengan I Lauase. Demikian pula di pelabuhan, aktivitas perdagangan pun semakin ramai. Akhirnya, mereka bersepakat untuk menggabungkan ketiga wilayah mereka menjadi satu.

“Tapi, apa nama yang cocok untuk wilayah ini?” tanya I Labuqang.

Mendengar pertanyaan itu, I Lauase dan I Lauwella terdiam. Keduanya juga masih bingung untuk memberikan nama yang bagus untuk wilayah mereka. Setelah beberapa saat berpikir, I Lauase kemudian mengajukan usulan.

“Bagaimana kalau tempat ini kita namakan Pallayarang Tallu?”

“Pallayarang Tallu? Apa masksudnya?” tanya I Lauwella penasaran.

“Pallayarang artinya tiang layar, sedangkan Tallu artinya tiga. Jadi, Pallayarang Tallu berarti Tiga Tiang Layar,” jelas I Lauase.

“Waaah, nama yang bagus. Saya setuju dengan usulan I Lauase. Kalau kamu bagaimana?” tanya I Labuqang kepada I Lauwella.

“Saya juga setuju dengan nama itu,” jawab I Lauwella.

Akhirnya ketiga pemuda itu menemukan nama yang bagus untuk wilayah mereka. Selanjutnya, mereka selalu bekerja sama mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan wilayah mereka.

Pada suatu hari, sekitar 7.000 orang pengungsi yang dipimpin oleh Puatta Di Karena tiba di daerah Adolang yang berbatasan dengan daerah kekuasaan I Lauase. Ribuan pengungsi tersebut berasal dari Kerajaan Passokkorang yang hancur akibat diserang oleh pasukan musuh. Setelah beberapa lama berada di daerah itu, Puatta Di Karena ingin mengajak negeri Pallayarang Tallu untuk bergabung menjadi anggota Pitu Baqbana Binanga, yaitu persekutuan kerajaan-kerajaan di daerah Mandar.

Suatu hari, Puatta Di Karena didampingi oleh beberapa pengawalnya pergi ke Negeri Pallayarang Tallu untuk menemui I Lauase. Setiba di rumah Lauase, ia pun mengutarakan maksud kedatangannya.

”Anak Muda! Maksud kedatangan kami adalah ingin mengajak Anda untuk bergabung menjadi anggota Pitu Baqbana Binanga. Apakah Anda bersedia?” tanya Puatta Di Karena menawarkan.

”Maaf, Tuan! Saya tidak dapat memutuskan sendiri masalah ini. Saya harus bermusyawarah dengan kedua saudara saya, I Lauwella dan I Labuqang,” jawab I Lauase.

”Baiklah, kalau begitu! Saya akan menunggu keputusan dari kalian. Tapi, kapan kita bisa bertemu lagi?” tanya Puatta Di Karena.

”Tuan boleh kembali ke mari besok pagi,” jawab I Lauase.

Setelah Puatta Di Karena mohon diri, I Lauase segera mengundang I Lauwella dan I Labuqang. Di rumah I Lauase, ketiga pemuda itu bermusyawarah. Dalam pertemuan itu mereka bersepakat untuk tidak bergabung menjadi anggota Pitu Baqbana Binanga.

Keesokan harinya, Puatta Di Karena pergi lagi ke rumah I Lauase. Kedatangannya disambut oleh ketiga pemuda tersebut.

”Bagaimana keputusan kalian?” tanya Puatta Di Karena penasaran.

”Maafkan kami, Tuan! Kami telah sepakat belum bersedia menerima tawaran, Tuan!” jawab I Lauase.

”Kenapa?” tanya Puatta Di Karena.

”Negeri kami belum makmur. Rakyat kami masih banyak yang hidup susah,” tambah I Lauwella.

”Bagaimana jika aku membayar tambo[2] kepada kalian?” tanya Puatta Di Karena menawarkan.

Mendengar tawaran itu, ketiga orang pemuda tersebut terdiam. Mereka berpikir, menerima atau menolak tawaran itu. Setelah berunding sejenak, akhirnya mereka memutuskan untuk menerima tawaran itu.

”Baiklah! Kami menerima tawaran Tuan! Kapan tambo itu akan Tuan berikan kepada kami?” tanya I Lauase.

”Kami akan mengantarkan tambo itu minggu depan,” janji Puatta Di Karena.

Akhirnya, Pallayarang Tallu pun bergabung menjadi anggota Pitu Baqbana Binanga. Ketiga pemuda itu sangat senang, karena mereka akan mendapat tambo untuk digunakan membangun wilayah dan membantu rakyat mereka. Namun, setelah seminggu mereka bergabung, Puatta Di Karena tidak memberikan tambo yang telah dijanjikannya.

Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, Puatta Di Karena tidak kunjung datang mengantarkan tambo. Akhirnya, tambo pun menjadi pembicaraan masyarakat Pallayarang Tallu. Oleh karena setiap hari diucapkan, lama-kelamaan kata tambo berubah menjadi Tamboang, lalu menjadi Pamboang. Berdasarkan kata inilah masyarakat setempat mengganti nama Pallayarang Tallu menjadi Pamboang. Hingga kini, kata Pamboang dipakai untuk menyebut nama sebuah kecamatan di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat.

* * *

Demikian cerita Asal Mula Nama Pamboang dari Sulawesi Barat, Indonesia. Cerita di atas termasuk ke dalam cerita legenda yang mengandung pesan-pesan moral. Sedikitnya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu keutamaan sifat suka bermusyawarah untuk mufakat dan tekun dalam bekerja.

Pertama, sifat suka bermusyawarah tercermin pada perilaku ketiga pemuda dalam cerita di atas. Setiap menghadapi suatu pekerjaan atau masalah, mereka senantiasa bermusyawarah untuk mufakat. Dalam kehidupan orang Melayu, musyawarah merupakan salah satu sandaran dalam adat Melayu. Oleh karena itu, mereka sangat menghormati, menjunjung tinggi, dan memuliakan musyawarah dan mufakat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam ungkapan Melayu dikatakan:

tegak adat karena mufakat,
tegak tuah karena musyawarah

Kedua, rajin dan tekun bekerja. Sifat ini juga tercermin pada keuletan ketiga pemuda tersebut. Dari cerita di atas dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa untuk mewujudkan sebuah keinginan, kita harus tekun dalam bekerja. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

wahai ananda cahaya mata,
rajin dan tekun dalam bekerja
penat dan letih usah dikira
supaya kelak hidupmu sejahtera


Asal Mula Nama Kota Dumai, Riau (Cerita Rakyat dari Dumai, Riau)

Cerita Rakyat dari Dumai, Riau
Judul asli :
Putri Tujuh

Hasil gambar untuk asal mula kota dumai


Dulu, Dumai hanyalah sebuah dusun nelayan yang sepi, berada di pesisir Timur Propinsi Riau, Indonesia. Kini, Dumai yang kaya dengan minyak bumi itu, menjelma menjadi kota pelabuhan minyak yang sangat ramai sejak tahun 1999. Kapal-kapal tangki minyak raksasa setiap hari singgah dan merapat di pelabuhan ini. Kilang-kilang minyak yang tumbuh menjamur di sekitar pelabuhan menjadikan Kota Dumai pada malam hari gemerlapan bak permata berkilauan. Kekayaan Kota Dumai yang lain adalah keanekaragaman tradisi. Ada dua tradisi yang sejak lama berkembang di kalangan masyarakat kota Dumai yaitu tradisi tulisan dan lisan. Salah satu tradisi lisan yang sangat populer di daerah ini adalah cerita-cerita rakyat yang dituturkan secara turun-temurun. Sampai saat ini, Kota Dumai masih menyimpan sejumlah cerita rakyat yang digemari dan memiliki fungsi moral yang amat penting bagi kehidupan masyarakat, misalnya sebagai alat pendidikan, pengajaran moral, hiburan, dan sebagainya. Salah satu cerita rakyat yang masih berkembang di Dumai adalah Legenda Putri Tujuh. Cerita legenda ini mengisahkan tentang asal-mula nama Kota Dumai.

Konon, pada zaman dahulu kala, di daerah Dumai berdiri sebuah kerajaan bernama Seri Bunga Tanjung. Kerajaan ini diperintah oleh seorang Ratu yang bernama Cik Sima. Ratu ini memiliki tujuh orang putri yang elok nan rupawan, yang dikenal dengan Putri Tujuh. Dari ketujuh putri tersebut, putri bungsulah yang paling cantik, namanya Mayang Sari. Putri Mayang Sari memiliki keindahan tubuh yang sangat mempesona, kulitnya lembut bagai sutra, wajahnya elok berseri bagaikan bulan purnama, bibirnya merah bagai delima, alisnya bagai semut beriring, rambutnya yang panjang dan ikal terurai bagai mayang. Karena itu, sang Putri juga dikenal dengan sebutan Mayang Mengurai.

Pada suatu hari, ketujuh putri itu sedang mandi di lubuk Sarang Umai. Karena asyik berendam dan bersendau gurau, ketujuh putri itu tidak menyadari ada beberapa pasang mata yang sedang mengamati mereka, yang ternyata adalah Pangeran Empang Kuala dan para pengawalnya yang kebetulan lewat di daerah itu. Mereka mengamati ketujuh putri tersebut dari balik semak-semak. Secara diam-diam, sang Pangeran terpesona melihat kecantikan salah satu putri yang tak lain adalah Putri Mayang Sari. Tanpa disadari, Pangeran Empang Kuala bergumam lirih, “Gadis cantik di lubuk Umai....cantik di Umai. Ya, ya.....d‘umai...d‘umai....” Kata-kata itu terus terucap dalam hati Pangeran Empang Kuala. Rupanya, sang Pangeran jatuh cinta kepada sang Putri. Karena itu, sang Pangeran berniat untuk meminangnya.

Beberapa hari kemudian, sang Pangeran mengirim utusan untuk meminang putri itu yang diketahuinya bernama Mayang Mengurai. Utusan tersebut mengantarkan tepak sirih sebagai pinangan adat kebesaran raja kepada Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Pinangan itu pun disambut oleh Ratu Cik Sima dengan kemuliaan adat yang berlaku di Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Sebagai balasan pinangan Pangeran Empang Kuala, Ratu Cik Sima pun menjunjung tinggi adat kerajaan yaitu mengisi pinang dan gambir pada combol paling besar di antara tujuh buah combol yang ada di dalam tepak itu. Enam buah combol lainnya sengaja tak diisinya, sehingga tetap kosong. Adat ini melambangkan bahwa putri tertualah yang berhak menerima pinangan terlebih dahulu.

Mengetahui pinangan Pangerannya ditolak, utusan tersebut kembali menghadap kepada sang Pangeran. “Ampun Baginda Raja! Hamba tak ada maksud mengecewakan Tuan. Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung belum bersedia menerima pinangan Tuan untuk memperistrikan Putri Mayang Mengurai.” Mendengar laporan itu, sang Raja pun naik pitam karena rasa malu yang amat sangat. Sang Pangeran tak lagi peduli dengan adat yang berlaku di negeri Seri Bunga Tanjung. Amarah yang menguasai hatinya tak bisa dikendalikan lagi. Sang Pangeran pun segera memerintahkan para panglima dan prajuritnya untuk menyerang Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Maka, pertempuran antara kedua kerajaan di pinggiran Selat Malaka itu tak dapat dielakkan lagi.

Di tengah berkecamuknya perang tersebut, Ratu Cik Sima segera melarikan ketujuh putrinya ke dalam hutan dan menyembunyikan mereka di dalam sebuah lubang yang beratapkan tanah dan terlindung oleh pepohonan. Tak lupa pula sang Ratu membekali ketujuh putrinya makanan yang cukup untuk tiga bulan. Setelah itu, sang Ratu kembali ke kerajaan untuk mengadakan perlawanan terhadap pasukan Pangeran Empang Kuala. Sudah 3 bulan berlalu, namun pertempuran antara kedua kerajaan itu tak kunjung usai. Setelah memasuki bulan keempat, pasukan Ratu Cik Sima semakin terdesak dan tak berdaya. Akhirnya, Negeri Seri Bunga Tanjung dihancurkan, rakyatnya banyak yang tewas. Melihat negerinya hancur dan tak berdaya, Ratu Cik Sima segera meminta bantuan jin yang sedang bertapa di bukit Hulu Sungai Umai.

Pada suatu senja, pasukan Pangeran Empang Kuala sedang beristirahat di hilir Umai. Mereka berlindung di bawah pohon-pohon bakau. Namun, menjelang malam terjadi peristiwa yang sangat mengerikan. Secara tiba-tiba mereka tertimpa beribu-ribu buah bakau yang jatuh dan menusuk ke badan para pasukan Pangeran Empang Kuala. Tak sampai separuh malam, pasukan Pangeran Empang Kaula dapat dilumpuhkan. Pada saat pasukan Kerajaan Empang Kuala tak berdaya, datanglah utusan Ratu Cik Sima menghadap Pangeran Empang Kuala.

Melihat kedatangan utusan tersebut, sang Pangeran yang masih terduduk lemas menahan sakit langsung bertanya, “Hai orang Seri Bunga Tanjung, apa maksud kedatanganmu ini?”. Sang Utusan menjawab, “Hamba datang untuk menyampaikan pesan Ratu Cik Sima agar Pangeran berkenan menghentikan peperangan ini. Perbuatan kita ini telah merusakkan bumi sakti rantau bertuah dan menodai pesisir Seri Bunga Tanjung. Siapa yang datang dengan niat buruk, malapetaka akan menimpa, sebaliknya siapa yang datang dengan niat baik ke negeri Seri Bunga Tanjung, akan sejahteralah hidupnya,” kata utusan Ratu Cik Sima menjelaskan. Mendengar penjelasan utusan Ratu Cik Sima, sadarlah Pangeran Empang Kuala, bahwa dirinyalah yang memulai peperangan tersebut. Pangeran langsung memerintahkan pasukannya agar segera pulang ke Negeri Empang Kuala.
Keesokan harinya, Ratu Cik Sima bergegas mendatangi tempat persembunyian ketujuh putrinya di dalam hutan. Alangkah terkejutnya Ratu Cik Sima, karena ketujuh putrinya sudah dalam keadaan tak bernyawa. Mereka mati karena haus dan lapar. Ternyata Ratu Cik Sima lupa, kalau bekal yang disediakan hanya cukup untuk tiga bulan. Sedangkan perang antara Ratu Cik Sima dengan Pangeran Empang Kuala berlangsung sampai empat bulan.

Akhirnya, karena tak kuat menahan kesedihan atas kematian ketujuh putrinya, maka Ratu Cik Sima pun jatuh sakit dan tak lama kemudian meninggal dunia. Sampai kini, pengorbanan Putri Tujuh itu tetap dikenang dalam sebuah lirik:
Umbut mari mayang diumbut
Mari diumbut di rumpun buluh
Jemput mari dayang dijemput
Mari dijemput turun bertujuh

Ketujuhnya berkain serong
Ketujuhnya bersubang gading
Ketujuhnya bersanggul sendeng
Ketujuhnya memakai pending

Sejak peristiwa itu, masyarakat Dumai meyakini bahwa nama kota Dumai diambil dari kata “d‘umai” yang selalu diucapkan Pangeran Empang Kuala ketika melihat kecantikan Putri Mayang Sari atau Mayang Mengurai. Di Dumai juga bisa dijumpai situs bersejarah berupa pesanggarahan Putri Tujuh yang terletak di dalam komplek kilang minyak PT Pertamina Dumai. Selain itu, ada beberapa nama tempat di kota Dumai yang diabadikan untuk mengenang peristiwa itu, di antaranya: kilang minyak milik Pertamina Dumai diberi nama Putri Tujuh; bukit hulu Sungai Umai tempat pertapaan Jin diberi nama Bukit Jin. Kemudian lirik Tujuh Putri sampai sekarang dijadikan nyanyian pengiring Tari Pulai dan Asyik Mayang bagi para tabib saat mengobati orang sakit.


Asal Mula Katak di Bumi Asmat (cerita rakyat Papua)

Asal Mula Katak di Bumi Asmat
(cerita rakyat Papua)


Hasil gambar untuk legenda katak


Alkisah, dahulu di daerah Asmat hiduplah tujuh orang bersaudara yang telah yatim piatu. Ayah dan ibu mereka telah lama meninggal karena suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

Anak tertua dari tujuh bersaudara itu bernama Ker. Menyusul di belakangnya, adiknya yang bernama Okhrobit, kemudian Ovorirat. Anak yang keempat, kelima, dan keenam semuanya mempunyai sebuah nama, yaitu Beribit Ua,Beribit Enga,Beribit Uco. Dan yang paling bungsu adalah seorang anak perempuan, bernama Taraot.

Ketujuh orang bersaudara ini sepeninggalan orang tuanya diasuh oleh neneknya, bernama Yamsyaot. Nenek Yamsyaot terkenal sangat keras dalam mendidik mereka. Mereka tinggal di suatu tempat yang terpencil, jauh dari kampung-kampung lainnya. Nenek Yamsyaot membuat sebuah rumah yang hangat bagi cucunya. Rumah itu terbuat dari tiang-tiang kayu dan ijuk sebagai tembok dan atapnya. Rumah tradisional ini terkenal di seluruh Irian Jaya dengan nama honay (honai).

Pada suatu hari Ker araucasam atakham ( dalam bahasa Asmat, artinya Ker dan adik-adiknya) turun kesungai untuk mencari ikan. Mereka mempergunakan panah kecil untuk mendapatkan ikan-ikan. Ikan yang banyak terdapat disungai itu adalah ikan vet dan bupit. Tetapi ikan-ikan itu pandai menghindar. Mereka bersembunyi di tepi sungai pada balik batu-batuan di balik batang-batang kayu. Begitu asyiknya Ker dan adik-adiknya memburu ikan-ikan, tak disadarinya anak panahnya mengenai ekor dari seekor ikan gabus yang sangat besar. Rupanya ikan yang akan di bidiknya itu bersembunyi di balik ikan gabus besar yang mungkin dikiranya batang kayu. Anak panah yang dilepaskan Ker mengenai pangkal ekor ikan gabus itu. ikan tersebut menggelepar-gelepar kesakitan.

Keenam saudara itu terkejut dan heran, mereka tidak menyengka akan menemukan ikan gabus sebesar itu. Setelah diselidiki ternyata ikan gabus itu diikat dengan seutas tali rotan dibagian kepalanya. Baru teringatlah olah mereka kalau ikan itu adalah ikan yang dipelihara olah nenek Yamsyaot rupanya ikan itu sudah lama sekali dipelihara sehingga ikan itu sangat besar dan dapat dimakan oleh satu keluarga besar.

Ker merasa sangat menyesal telah melukai ikan itu. nenek sudah dengan susah payah memelihara ikan gabus itu.sekarang karena ulahnya ikan itu hampir mati. Disamping menyesal dia juga takut kalau-kalau perbuatannya diketahui oleh nenek Yamsyaot. Pasti Ker dan adik-adiknya akan dihukum, dikutuk bahkan dibunuh. Oleh karena itu timbullah niat dalam hatinya untuk membunuh ikan gabus itu. ia akan menghabisi ikan itu tanpa sepengetahuan nenek Yamsyaot. Tetapi sebelum menjalankan niatnya, terlebih dahulu ia bermusyawara dengan adik-adiknya. Pada mulanya adik-adiknya tidak setuju dengan niat kakaknya itu. beberapa hari kemudian, diadakan lagi perundingan. Akhirnya mereka sepakat untuk mebunuh ikan gabus yang besar dan gemuk itu.
Dalam mengadakan musyawara, mereka tidak mengikut sertakan si bungsu Taraot. Taraot sangat dikasihi oleh nenek Yamsyaot. Ia adalah anak perempuan satu-satunya dari ketujuh saudara itu. setelah semua rencana ditetapkan, maka mereka menunggu saatnya nenek Yamsyaot pergi menokok sagu. Tempat itu jauh, biasanya nenek Yamsyaot pergi untuk beberapa hari lamanya.

Sekarang saat yang dinantika telah tiba, pagi sekali nenek Yamsyaot telah berangkat ia berpesan kepada cucunya.

“Ker, engkau anak yang tertua dalam keluarga ini. Nenek berharap engkau dapat menjaga adik-adikmu, dan bertanggung jawab atas segala sesuatu sepeninggalan nenek. Tinggallah kalian baik-baik dirumah, makanlah sagu yang sudah nenek sediakan di dapur.”

Demikian pesan nenek Yamsyaot kepada Ker dan adik-adiknya. Kemudian nenek itu berbalik kepada Taraot, dan menyampaikan pesan pada gadis kecil itu.

“Taraot cucuku, tinggallah bersama kakak-kakakmu dan patuhilah apa yang dikatakan oleh Ker. Tetapi bila engkau tidak diperhatikan dan tinggal sendiri, ikutlah nenek ketempat menokok sagu. Nenek akan memberi tanda (petunjuk jalan) ketempat itu. setelah berkata demikian berangkatlah nenek Yamsyaot.

Sepeninggalan nenek itu Ker dan adik-adiknya bersiap untuk menjalankan rencana mereka. Mereka lalu turun kesungai, mereka membunuh ikan gabus milik nenek Yamsyaot. Ikan itu kemudian dipotong-potong dan diaduk dengan sagu. Setelah dibungkus dengan daun sagu (daun rumbia) lalu dibakar. Pekerjaan itu dilakukan tanpa sepengetahuan Taraot. Bahkan setelah makanan itu masak, Taraot tak diberi sedikit pun. Mereka khawatir Taraot akan menanyakan dari mana asal makanan itu. Kalau Taraot mengetahui, pasati ia akan memberitahukannya pada nenek Yamsyaot. Tentu saja mereka akan dihukum.

Taraot ternyata mengetahui juga segala apa yang dilakukan oleh kakak-kakaknya. Tanpa sepengetahuan mereka Taraot telah mengintip pekerjaan mereka. Taraot mendengar pembicaraan-pembicaraan mereka sejak beberapa hari sebelumnya. Ia baru keluar dari persembunyiannya setelah kakak-kakaknya menghabiskan makanan itu, ia berpura-pura lapar sekali. Ia meminta makanan dari kakak-kakaknya. Tetapi makanan itu sudah habis dimakan. Tak ada sisa sedikitpun untuk diberikan pada Taraot. Taraot mulai merajuk dan mengatakan, ia akan melaporkan perbuatan mereka pada nenek Yamsyaot.

“Kakak-kakak telah memakan makanan yang lezat, akan tetapi tak sedikpun disimpankan untukku. Biarlah aku akan menyusul nenek”.

Mendengar kata Taraot, maka Ker berkata” pergilah menyusul nenek.memang hanya engkaulah yang dikasihinya. Kami akan pergi dari tempat ini dan engkaulah yang akan mendapatkan seluruh warisannya.

Setelah berkata demikian, Ker dan adik-adiknya bersiap-siap untuk melarikan diri sejauh-jauhnya. Mereka berusaha lari sejauh-jauhnya sebelum Taraot menemui nenek Yamsyaot. Taraot pasti mengadukan perbuatan mereka. Tinggallah Taraot sendiri. Ia merasa dongkol dan marah. Ia pun segera menembus hutan-hutan sagu untuk menemui neneknya. Tak lupa ia memungut dan mengumpulkan tulang-tulang ikan yang di buang kakak-kakaknya. Semua itu akan diserahkan pada nenek Yamsyaot sebagai bukti perbuatan mereka.

Taraot akhirnya sampai didusun sagu tempat nenek Yamsyaot menokok sagu. Dari jauh ia telah memanggil-manggil nama neneknya.

Nenek,nenek! Kau dimana? Ini cucumu Taraot!”beberapa kali ia memenggil demikian. Akhirnya terdengar juga oleh neneknya. Nenek Yamsyaot sangat senang mendengar suara cucunya. Kemudian ia menjawab dengan penuh kegirangan.

“Mari cucu ku sayang! Kenapa engkau datang sendirian mana, kakak-kakak mu?mengapa tidak seorang pun yang mengantarkanmu kesini?” maka berkatalah Taraot dengan sedih bercampur marah.

“Ah…. Nenek. Kakak-kakak itu tidak lagi sayang kepada saya, Mo. Mereka sudah benci kepada saya. Ketika saya lapar mereka tidak memberikan saya makanan. Bahkan semua makanan dihabiskan oleh mereka. Itulah sebabnya saya menyusul nenek ke sini.”

Setelah mendengar pengaduan Taraot, nenek Yamsyaot meraihnya agar dekat. Kemudian nenek itu menghibur cucunya.

“Sudahlah Taraot, jangan merajuk juga. Nanati kita makan bersama-sama disini. Nenek sudah menyediakan sagu bakar. Juga ada udang yang enak dari kali kecil itu. anak laki-laki selamanya tak dapat diharapkan. Padahal nenek telah mengatakan agar mereka sentiasa melindungimu. Ternyata mereka berbuat sebaliknya. Ayo mari kita makan.”

Kemudian mereka makan dengan lahapnya, Taraot sangat lapar. Sehingga ia makan banyak sekali.

Setelah selesai makan, dalam waktu beberapa saat kemudian kantuk mulai menyerang Taraot. Ia tertunduk di bawah pohon dan kepalanmya terangguk-angguk. Melihat cucunya terkantu-kantuk demikian nenek Yamsyaot merasa kasihan. Ia lalu mengangkat cucunya itu. memangkunya sambil membelai-belai kepalanya. Alangkah terkejutnya nenek Yamsyaot tak kala suatu benda menusuk telapak tangannya. Setelah diteliti ternyata sepotong tulang ikan. Rupanya Taraot meletakkan tulang ikan gabus sisa makanan kakak-kakaknya itu di rambutnya. Nenek membangunkan Taraot dan bertanya.

“Mengapa engkau tidak minta tolong kepada kakak-kakak mu untuk mencari kutu di kepalamu ini? Coba liat banyak sekali tulang iakan di kepalamu, dari mana tulang-tulang iakan ini?”

“Nenek! tadi saya sudah katakana, mereka tidak peduli lagi dengan saya tulang-tulang ikan itu adalah bekas makan mereka yang dilemparkan kekepala saya.”

Demikian jawab Taraot kepada neneknya. Kemudian dengan manja lagi ia menyusupkan kepalanya ke bahu neneknya. Tetapi nenek Yamsyaot mendorong tubuh Taraot kedepan, lalu menanyakan apa sebabnya. Nenek Yamsyaot mulai merasa curiga ketiaka memperlihatkan tulang-tulang ikan itu. nalurinya mengatakan bahwa itu adalah tulang seekor ikan gabus yang sangat besar.

Taraot lalu menceritakan bahwa kakak-kakaknya telah menangkap seekor ikan gabus yang sangat besar. Menurut dugaanya ikan itu adalah ikan yang dipelihara nenek Yamsyaot. Ikan itu telah dipotong-potong lalu dibakar, mereka telah menghabiskan ikan itu. beserta sagunya. Mereka tidak memberi sedikitpun kepadanya. Mendengar hal itu nenek Yamsyaot menjadi berang, ia lalu bertanya lagi.

“apakah ikan itu yang terikat disungai dengan seutas rotan?”

“benarlah nek. Saya lihat mereka menariknya dengan rotan.”

Mendengar perkataan itu nenek Yamsyaot semakin marah. Disaat itu juga ia menuduh cucunya itu bersekongkol dengan keenam kakak-kakaknya. Ia datang kesitu hanya untuk mengelabui nenek Yamsyaot.

Amarah nenek itu tak tertahankan lagi. Taraot diangkatnya tinggi-tinggi lalau dilemparkannya keatas pucuk pohon sagu. Taraot tersangkut disana. Kemudian nenek yang bengis itu menyuruh cucunya mengeluarkan suara: khar,khar,khar.

Sejak saat itu Taraot berubah jadi seekor katak, itulah cerita asala mula adanya katak dibumi Asmat hingga saat ini.


Asal Mula Gunung Duwanita (papua)

Cerita Rakyat Suku Mee dari Nabire, Papua

Hasil gambar untuk Asal Mula Gunung Duwanita

Di daerah pedalaman Nabire, tepatnya daerah Makewapa, hiduplah satu keluarga yang miskin. Keluarga itu termiskin di daerah itu. Mereka tidak memunyai makanan dan harta benda. Keluarga itu bernama Kibiuwo. Keluarga Kibiuwo terdiri atas lima orang, yaitu Ibu Kibiuwo, nama  anak pertama Neneidaba, anak kedua Noku, dan anak ketiga Yegaku. Anak yang pertama dan kedua laki-laki dan yang ketiga adalah anak perempuan. Nama ayahnya tidak pernah disebut-sebut sampai sekarag (masih dirahasiakan).

Mereka tidak ada nota/nuta (ubi jalar), nomo (talas), digiyonapa/ugubo (sayur hitam), mege dan dedege (mata uang adat suku Mee), ekina (ternak babi), dan tidak ada harta benda lainnya. Pada saat itu, makanan yang ada hanyalah nota/nuta (ubi jalar) jenis kadaka dan digiyonapo/ugubo (sayur hitam). Pada saat itu, musim kelaparan dan krisis ekonomi berkepanjangan. Tanaman nota/nuta (ubi jalar), nomo (talas), dade/boho (sayur gedi), eto (tebu) dan lainnya terbatas.

Kelurga Kibiuwo duduk dalam rumah dan berbincang-bincang bagaimana mengatasi kelaparan yang menimpa keluarganya. Tiba-tiba saja ibu Kibiuwo serasa ingin buang air kecil. Dengan sendirinya, Ibu Kibiuwo serta merta berlari ke belakang rumah dan secara tiba-tiba melepaskan air kemihnya. Dilihatnya, air kemih itu berwarna merah. Ternyata ia melepaskan air kemih dalam bentuk darah, tepat di atas rerumputan yang rendah.

Dengan perasaan takut dan heran Ibu Kibiuwo memasuki rumah tanpa bersuara dan komentar. Ia terus bertanya-tanya dan merenungkan dalam hatinya, mengapa air kemihnya berdarah? Ia benar-benar heran karena selama hidupnya belum pernah terjadi hal serupa. Baru pertama kali terjadi seperti itu.

Mereka melanjutkan perbincangannya untuk terus mencari jalan keluar untuk mengatasi kelaparan yang sedang dan akan menimpa kelurga mereka. Ibu Kibiuwo tidak menceritakan kejadian yang menimpa dirinya ketika buang air kecil di luar sana. Tiba-tiba perbincangan mereka terputus oleh suara tangisan bayi.

Suara tangisan itu semakin besar, seakan meminta pertolongan orang. Mendengar tangisan bayi itu, serta-merta berdiri dan keluarlah mereka dari dalam rumah dan memperhatikan dari arah mana bayi itu menangis. Mereka berdiri di halaman rumah dan memperhatikan sekelilingnya. Suara tangisan semakin dekat, namun mereka tidak menemukan ibu yang mengendongnya atau ibu yang sedang melahirkan di dekat rumah mereka. Mereka terus melakukan pematauan di sekeliling rumah untuk mencari perempuan yang sedang duduk menyusui atau berdiri mengendong dan membujuknya. Tidak ada ibu yang melewati sekitar rumah mereka. Mereka terus melakuan pencarian.

Dengan penasaran mereka semakin ke belakang, tangisan anak semakin keras dan semakin dekat. Tangisan bayi mulai ke arah di mana Kibiuwo membuang air kemih berdarah. Akhirnya, mereka menemukan seorang bayi lemah tergeletak persis di tempat Kibiuwo membuang air kemih. Dilihatnya, air kemih yang berdarah itu sudah tidak ada lagi.

Melihat bayi yang tidak berdaya itu, keluarga Kibiuwo merasa sayang. Ibu Kibouwo mengambil bayi itu dan membawa masuk ke dalam rumah, karena ia teringat peristiwa yang terjadi padanya. Ia merawat anak itu dengan senang hati, walaupun dalam kelaparan yang dasyat. Bayi itu terlahir dari lingkungan keluarga yang miskin dan kesusahan makanan. Ibu Kibiuwo bertanya-tanya apakah anak ini terlahir dari air kemihnya atau tidak.

Untuk memastikannya, ia menyuruh anak-anaknya untuk pergi bertanya-tanya kepada warga setempat disekeliling mereka. Warga di sekitaranya heran mendengar cerita itu. Mereka justru bertanya siapa gerangan yang meletakkan bayi itu di dekat rumah keluarga miskin itu. Terutama karena di daerah itu tidak ada ibu hamil.

Warga sekitar justru berdatangan ke rumah Ibu Kibiuwo untuk melihat bayi itu. Dengan demikian Ibu Kibiuwo benar-benar yakin bahwa bayi itu berasal dari air kemihnya. Ia merasa bayi itu pembawa berkat bagi keluarganya. Namun suaminya yang tidak disebutkan namanya itu merasa, bayi itu adalah ayayoka artinya anak bayangan atau anak roh. Alasan suaminya adalah karena anak itu tidak memiliki ayah dan ibunya yang jelas. Lagi pula Ibu Kibiuwo merahasiakan air kemihnya yang berdarah tersebut.

Suaminya berencana membunuh bayi itu, namun Ibu Kibiuwo melarang keras untuk membunuh. Suaminya masih ngotot untuk membunuh bayi lemah itu. Dia mengatakan ayayoka bisa membawa malapetaka bagi keluarga. Melihat niat suaminya, Ibu Kibiuwo memeluk dan terus membelai bayi itu. Melihat kasih sayang istrinya yang ditunjukkan melalui pelukan dan belaian itu, ia mengurungkan niatnya untuk membunuh bayi tersebut.

Suaminya menerima anak itu sebagai anak kandungnya. Ia menamai anak itu sesuai prasangkanya, yaitu “Ayayoka”. Hingga umur bayi itu enam bulan dia masih belum makan dan minum. Setiap kali Ibu Kibiuwo menyuap makanan dan minuman ke dalam mulut bayi itu terus dimuntahkannya. Namun bayi itu sehat dan mulus. Tidak pernah menangis untul meminta makanan dan minuman. Ketiga anaknya (Neneidaba, Noku dan Yegaku) menganggap bayi itu sebagai adik mereka. Mereka sungguh sayang kepadanya.

Hari berlalu tahun berganti, anak itu tetap sehat dan mulus. Melihat kondisi badannya yang agak kecil, mulus, sehat, dan berenergi, ayahnya memberikan nama baru baginya, yaitu Koyeidaba/Koheidaba. Koyei (daba)/Kohei (daba) yang berarti anak berbadan agak kecil, mulus, tetapi sehat dan berenergi. Koyei/Kohei menjadi nama kebanggaan ayahnya termasuk keluarga miskin itu.

Memasuki umur tujuh bulan, anak itu mulai berkarya melalui anusnya. Ia mengeluarkan makanan, harta serta ternak. Semua makanan dan ternak yang dikeluarkannya masih dalam keadaan mentah dan hidup. Ia mengeluarkan ubi mentah, talas mentah, apu (sejenis ubi jalar yang batangnya terlilit pada pohon di sekitarnya), sayur hitam mentah, sayur lilin mentah, sayur gedi mentah, bermacam-macam jenis tebu, bermacam-macam jenis pisang, buah-buahan termasuk buah merah mentah dan lain-lain. Tujuan Koyei/Kohei agar semuanya dapat dikembangbiakkan.

Berupa harta benda misalnya: mege (kulit kerang yang dipakai sebagai mata uang suku Mee); dedege (sejenis kulit kerang yang kecil berwarna putih untuk perhiasan leher), manik-manik biru tua yang dipakai sebagai perhiasan keher) dan lain-lain.

Sementara berupa ternak seperti: ekina (babi) yang masih hidup sebanyak dua ekor. Dua ekor babi itupun berkembang secara cepat, karena banyak makanan. Keluarga Kibiuwo menjadi keluarga yang berkecukupan di daerah itu. Keluara Kibiuwo tidak mengalami kelaparan lagi, kelahiran Koyei/Kohei menjadi berkat tersendiri bagi kehidupan mereka. Setelah keluarga Kibiuwo menjadi berkecukupan, tersebarlah berita itu di seluruh daerah. Melihat keluarga Kibiuwo yang berkecukupan berkat kehadiran Koyei/Kohei, muncul bermacam-macam pendapat dalam masyarakat di daerah itu.

Ada yang mengatakan, kehadiran Koyei/Kohei sebagai penyelamat dari kirisis ekonomi; ada yang berpendapat Koyei/Kohei sebagai peredam makanan, harta, dan ternak; ada juga yang menyangka Koyei/Kohey adalah perampas, penghimpun dan penghilang kekayaan suku Mee, dan ada juga yang berpendapat Koyei/Kohey hanya memperkaya keluarganya sendiri oleh sebab itu dia harus disingkirkan.

Masyarakat daerah itu merasa bahwa keluarga paling termiskin di daerah itu semakin menjadi kaya. Kecemburuan terus meningkat. Masyarakat diam-diam menyepakati untuk membunuh Koyei/Kohei. Sementara Ayah dan Ibu Kibiuwo tiba-tiba meninggal secara bersamaan. Koyei/Kohei menghibur ketiga saudaranya untuk tidak menangisi kepergian orang tua mereka. Namun mereka terus tangisi orang tua mereka. “Akan datang hari yang indah hari tidak ada orag kaya dan orang miskin. Semua orang akan hidup damai tanpa kekurangan apapun. Semua orang akan diselamatkan. Janganlah tangisi mereka. Mereka akan hidup.” Demikian kata-kata Koyei/Kohei menghibur.

Sejak kepergian ayah dan ibunya, Koyei/Kohei mengambil alih semua urusan keluarga. Dia juga mengajarkan mereka tentang kehidupan yang indah tanpa bermusuhan, tentang keadilan, tentang hak atas tanah dan lain-lain sambil berkarya meciptakan makan dan harta bagi mereka. Ketiga anak itu berkecukupan dan setara dengan masyarat sekitarnya. Kesetaraan secara tiba-tiba berkat kehadiran Koyei/Kohei tidak diterima oleh masyarakat setempat. Mereka (masyarakat sekitarnya) terus membenci kehadiran Koyei/Kohei.

Kelompok masyarakat tertentu yang iri dengan karya Koyei/Kohei mulai menyebarkan isu yang yang tidak benar. Katanya, “Kita akan menjadi miskin, tiga bersaudara akan menguasai kita. Mereka yang tadinya miskin kini mulai menjadi kaya. Dia (Koyei/Kohei) mementingkan keluarganya saja.” Mereka menyebarkan isu itu ke seluruh masyarakat Mee.

Mengamati isu yang berkembang itu, Koyei/Kohei merasa bahwa perlu mengambil sebuah buku yang berisi seluruh adat istiadat, kebaikan dan kesempurnaan. Maka suatu hari dia mengutus Noneidaba dan Noku untuk pergi mengambil “Touye Kapogeiye/Touhe kapogeihe” (sebuah buku tentang kehidupan, kebaikan dan kesempurnaan) ciptaan Koyei/Kohei. Tempat penyimpangan buku itu hanya dia yang tahu. Tidak ada orang yang mengetahuinya. Masyarakat sekitar mengetahui bahwa Noneidaba dan Noku sedang bepergian keluar dari daerah itu. Mereka tidak tahu untuk apa kedua pemuda itu pergi. Kesempatan itu benar-benar dimanfaatkan oleh masyarakat daerah itu untuk menyerbu Koyei/Kohei. Namun, dia meloloskan diri ke arah Gunung Odiyai. Pengejaran terus dilakukan dari gunung ke gunung, terus lari melewati kampung yang satu ke kampung yang lain, sungai-sungai besar diseberangi, bukit-bukit ditaklukan.

Pada suatu titik jumlah orang yang mengejarnya semakin banyak, dia sudah semakin lelah. Panah yang tertusuk pada lambungnya semakin membuat dia tidak bisa meloloskan diri. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Koyei/Kohei berkata:

“Sesungguhnya saya memberi kami makanan dan harta kekayaan, namun kamu tidak mengerti bahkan membunuhku. Karena itu sekarang kamu berusaha sendiri dengan susah payah. Peliharalah dua ekor babi itu baik-baik, karena kamu akan diadili sesuai dengan setimpal perbuatanmu.”

Akhirnya Koyei/Kohei menarik nafasnya yang terakhir. Ketika, Noneidaba dan Noku pulang membawa “Touye Kapogeiye/ Touhe kapogeihe” dari kejauhan terdengar ratapan adik Yegaku. Mereka berdua berlari-lari masuk ke dalam rumah dan mendekati adiknya ada gerangan apa dia meratap. “Adik…, itu adik… telah dikejar dan dibunuh semua orang di daerah ini. Dia sudah meninggal”, katanya sambil meratap. Mereka berdua masih bertanya-tanya kenapa adik mereka dibunuh. Sementara “Touye Kapogeiye/ Touhe kapogeihe” masih belum diserahkan kepada Koyei/Kohei untuk menjelaskan apa isi buku.

Yegaku masih meratap. Ketika, dia ingin menjelaskan lebih lanjut tentang proses penyerangan dan pembunuhan, rumah mereka justru dikepung. Masyarakat sekitar sudah siap dengan panah untuk menyerang mereka berdua. Melihat kepungan itu, Noneidaba melarikan diri ke arah barat lalu sempat meloloskan diri ke dalam sebuah gua batu dan menghilang di situ.

Pada saat yang sama, Noku melarikan diri ke arah timur. Namun sial, dia tertembak panah dan tidak bisa melarikan diri. Noku masih belum mati tetapi dia menyerahkan diri untuk dibunuh sambil memegang erat-erat “Touye Kapogeiye/Touhe kapogeihe” di depannya. Dia membelakangi masyarakat (saat itu “Touye Kapogeiye/Touhe kapogeihe” ada di depan dia) dan memasrakan dirinya untuk ditembak di punggungnya. Pada saat panah tertancap dipunggungnya, Noku sempat berteriak dan mengatalan, “To kabu togo kabu kiyayaikaine” (saya tinggalkan segala kegelapan dan keburukan padamu). Lalu Noku berteriak histeris masuk ke dalam sebuah goa dengan membawa “Touye Kapogeiye/Touhe kapogeihe” lalu tembus ke daerah lain (dunia Barat).

Semua orang yang mengejar dan membunuh Koyei/Kohei dan Noku kembali ke kediaman Koyei/Kohei dan Noku. Di situ mereka memotong babi satu ekor dari dua ekor babi yang keluar dari anusnya Koyei/Kohei. Sementara, satu ekor babi berubah menjadi sebuah gunung dan kini dikenal dengan, “Gunung Duwanita”.

Selanjutnya, mereka memotong kepala Koyei/Kohei dan kulit perut babi, lalu menutupkan lubang gua bagian timur. Kemudian kepala babi dan perut Koyei menutupkan bagian barat. Sementara dagingnya mereka pesta bersama. Sesudah semuanya berakhir, mereka pulang ke rumah masing-masing dengan teriakan kegembiraan (yuwaita).

Segala kerahasiaan Koyei/Kohei tersirat dan tersurat dalam buku “Touye Kapogeiye/Touhe kapogeihe”. Saat ini sedang dicari oleh sekelompok suku Mee yang menamakan dirinya Utoumana (kelompok pencipta alat-alat budaya).


Asal Mula Batu Catu (cerita rakyat bali)

Asal Mula Batu Catu
(cerita rakyat bali)

Hasil gambar untuk asal mula bukit catu
Alkisah di pedalaman Pulau Bali, terdapat sebuah desa yang subur dan makmur. Sawah dan ladangnya selalu memberikan panen yang berlimpah. Di desa tersebut tinggal seorang petani bernama Pak Jurna dan istrinya. Mereka menginginkan hasil panen padinya lebih banyak dari pada hasil panen sebelumnya. “Hem, sebaiknya pada musim tanam padi sekarang ini kita berkaul,” usul Pak Jurna pada istrinya. “Berkaul apa, pak?” sahut Bu Jurna. “Begini, jika hasil panen padi nanti meningkat kita buat sebuah tumpeng nasi besar, ujar Pak Jurna penuh harap. Ibu Jurna setuju.
Ternyata hasil panen padi Pak Jurna meningkat. Sesuai dengan kaul yang telah  diucapkan, lantasPak Jurna dan istrinya membuat sebuah tumpeng nasi besar. Selain itu diadakan pesta makan dan minum. Namun Pak Jurna dan istrinya belum puas dengan hasil panen yang mereka peroleh. Mereka ingin berkaul lagi dimusim padi berikutnya. “Sekarang kita berkaul lagi. Jika hasil panen padi nanti lebih meningkat, kita akan membuat tiga tumpeng nasi besar-besar,” ujar Pak Jurna yang didukung istrinya. Mereka pun ingin mengadakan pesta yang lebih meriah daripada pesta sebelumnya.
Ternyata benar-benar terjadi. Hasil panen padi lebih meningkat lagi. Pak Jurna dan istrinya segera melaksanakan kaulnya. Sebagian sisa panen dibelikan hewan ternak oleh Pak Jurna. Tapi mereka masih belum puas. Pak Jurna dan istrinya berkaul lagi akan membuat lima tumpeng besar jika hasil panen dan ternaknya menjadi lebih banyak. Panen berikutnya melimpah ruah dan ternaknya semakin banyak. “Suatu anugerah dari Sang Dewata, apa yang kita mohon berhasil,” ucap Pak Jurna datar.
Di suatu pagi yang cerah, Pak Juran pergi ke sawah. Sewaktu tiba di pinggir lahan persawahan, ia melihat sesuatu yang aneh. “Onggokan tanah sebesar catu?” tanyanya dalam hati. “Perasaanku onggokan tanah ini kemarin belum ada,” gumam pak Juran sambil mengingat-ingat. Catu adalah alat penakar beras dari tempurung kelapa. Setelah mengamati onggokan tanah itu, pak Jurna segera melanjutkan perjalanan mengelilingi sawahnya. Setelah itu, ia pulang ke rumah. Setibanya di rumah, pak Jurna bercerita pada istrinya tentang apa yang dilihatnya tadi. Ia segera mengusulkan agar membuat catu nasi seperti yang dilihat di sawah. Ibu Jurna mendukung rencana suaminya. “Begini, pak. Kita buat beberapa catu nasi. Dengan begitu, panenan kita akan berlimpah ruah, sehingga dapat melebihi panenan orang lain,” usul Bu Jurna.
 Hasil panen berlimpah ruah. Lumbung padi penuh. Para tetangga Pak Jurna takjub melihat hasil panen yang tiada bandingnya itu. “Pak Jurna itu petani ulung,” kata seorang lelaki setengah baya kepada teman-temannya. “Bukan petani ulung tetapi petani beruntung,” timpal salah satu temannya sambil tersenyum. Pak Jurna dan istrinya membuat beberap catu nasi. Pesta pora segera dilaksanakan sangat meriah. Beberapa catu nasi segera dibawa ke tempat sebuah catu yang berupa onggokan tanah berada. Namun, Pak Jurna sangat terkejut melihat catu tersebut bertambah besar.
“Baik, aku akan membuat catu nasi seperti catu tanah yang semakin besar ini,” tekad Pak Jurna bernada sombong. Pak Jurna segera pulang ke rumah dan memerintahkan istrinya agar membuat sebuah catu nasi yang lebih besar.
Sebuah catu nasi yang dimaksud telah siap dibawa ke sawah. Sambil bersenandung dan diiringi gemerciknya air sawah, Pak Jurna membawa catu nasi besar. Namun setelah tiba ditempat, Pak Jurna terperanjat. “Astaga! Catu semakin besar dan tinggi!” pekiknya. “Tak apalah. Aku masih mempunyai simpanan beras yang dapat dibuat sebesar catu ini,” ujar Pak Jurna tinggi hati.  Begitulah yang terjadi. Setiap Pak Jurna membuat catu nasi lebih besar, onggokan tanah yang berupa catu bertambah besar dan semakin tinggi. Lama kelamaan catu tanah tersebut menjadi sebuah bukit. Pak Jurna dan istrinya pasrah. Mereka sudah tidak sanggup lagi membuat catu nasi. Lantas apa yang terjadi? Pak Jurna jatuh miskin karena ulah dan kesombongannya sendiri. Akhirnya, onggokan tanah yang telah berubah menjadi bukit itu dinamai Bukit Catu.

Moral :Bersyukurlah atas segala sesuatu yang telah diberikan Yang Maha Kuasa. Jangan terlalu rakus dan sombong.


asal mula burung cendrawasih

Cerita Rakyat Papua 

Hasil gambar untuk asal mula cendrawasih
Di daerah Fak-fak tepatnya, pegunungan Bumberi hiduplah seorang perempuan tua bersama seekor anjing betina. Perempuan tua bersama anjing itu mendapatkan makanan dari hutan berupa buah-buahan dan kuskus. Hutan adalah ibu mereka yang menyediakan makanan untuk hidup. Mereka berdua hidup bebas dan bahagia di alam.

Suatu ketika, seperti biasanya mereka berdua ke hutan untuk mencari makan. Perjalanan yang cukup memakan waktu belum juga mendapatkan makanan. Anjing itu merasa lelah karena kehabisan tenaga. Pada keadaan yang demikian tibalah mereka berdua pada suatu tempat yang ditumbuhi pohon pandan yang penuh dengan buah. Perempuan tua itu serta merta memungut buah itu dan menyuguhkannya kepada anjing betina yang sedang kelaparan. Dengan senang hati, anjing betina itu melahap suguhan segar itu. Anjing betina itu merasa segar dan kenyang.

Namun, anjing itu mulai merasakan hal-hal aneh di perutnya. Perut anjing itu mulai membesar. Perempuan tua itu memastikan bahwa, ternyata sahabatnya (anjing betina) itu hamil. Tidak lama kemudian lahirlah seekor anak anjing. Melihat keanehan itu, si perempuan tua itu segera memungut buah pandan untuk dimakannya, lalu mengalami hal yang sama dengan yang dialami oleh sahabatnya. Perempuan tua itu melahirkan seorang anak laki-laki. Keduanya lalu memelihara mereka masing-masing dengan penuh kasih sayang. Anak laki-laki diberi nama: Kweiya.

Setelah Kweiya menjadi besar dan dewasa, dia mulai membuka hutan dan membuat kebun untuk menanam makanan dan sayuran. Alat yang dipakai untuk menebang pohon hanyalah sebuah pahat (bentuk kapak batu). Karenannya, Kweiya hanya dapat menebang satu pohon setiap harinya. Ibunya ikut membantu dengan membakar daun-daun dari pohon yang telah rebah untuk membersihkan tempat itu sehingga asap tebal mengepul ke langit. Setiap kali, hutan lebat itu dihiasi dengan kepulan asap tebal yang membumbung tinggi. Keduanya tidak menyadari bahwa mereka telah menarik perhatian orang dengan mengadakan kepulan asap itu.

Konon ada seorang pria tua yang sedang mengail di tengah laut terpaku melihat suatu tiang asap yang mengepul tinggi ke langit seolah-olah menghubungi hutan belantara dengan langit. Dia tertegun memikirkan bagaimana dan siapakah gerangan pembuat asap misterius itu. Karena perasaan ingin tahu mendorongnya untuk pergi mencari tempat di mana asap itu terjadi. Lalu ia pun segera menyiapkan diri dengan bekal secukupnya dan dengan bersenjatakan sebuah kapak besi, ia pun segera berangkat. Pria itu berangkat bersama seekor kuskus yang dipeliharanya sejak lama. Perjalanannya ternyata cukup memakan waktu. Setelah seminggu berjalan kaki, akhirnya ia mencapai tempat di mana asap itu terjadi.


Setibannya di tempat itu, ternyata yang ditemui adalah seorang pria tampan membanting tulang menebang pohon di bawah terik panas matahari dengan menggunakan sebuah kapak batu berbentuk pahat. Melihat itu, ia menghampiri lalu memberi salam: “weing weinggiha pohi” (artinya selamat siang) sambil memberikan kapak besi kepada Kweiya untuk menebang pohon-pohon di hutan rimba itu. Sejak itu pohon-pohonpun berjatuhan bertubi-tubi. Ibu Kweiya yang beristerahat di pondoknya menjadi heran. Ia menanyakan hal itu kepada Kweiya, dengan alat apa ia menebang pohon itu sehingga dapat rebah dengan begitu cepat.

Kweiya nampaknya ingin merahasiakan tamu baru yang datang itu. Kemudian ia menjawab bahwa kebetulan pada hari itu satu tangannya terlalu ringan untuk dapat menebang begitu banyak pohon dalam waktu yang sangat singkat. Ibunya yang belum sempat melihat pria itu percaya bahwa apa yang diceritakan oleh anaknya Kweiya memang benar. Dan karena Kweiya minta disiapkan makanan, ibunya segera menyiapkan makanan sebanyak mungkin. Setelah makanan siap dipanggilnya Kweiya untuk pulang makan. Kweiya bermaksud mengajak pria tadi untuk ikut makan ke rumah mereka dengan maksud memperkenalkannya kepada ibunya sehingga dapat diterima sebagai teman hidupnya.

Dalam perjalanan menuju rumah Kweiya memotong sejumlah tebu yang lengkap dengan daunnya untuk membungkus pria tua itu. Lalu setibanya di dekat rumah, Kweiya meletakkan, “bungkusan tebu” itu di luar rumah. Sewaktu ada dalam rumah Kweiya berbuat seolah-olah haus dan memohon kepada ibunya untuk mengambilkan sebatang tebu untuk di makannya sebagai penawar dahaga. Ibunya memenuhi permintaan anaknya lalu keluar hendak mengambil sebatang tebu. Tetapi ketika ibunya membuka bungkusaan tebu tadi, terkejutlah ia karena melihat seorang pria yang berada di dalam bungkusan itu. Serta-merta ibunya menjerit ketakutan, tetapi Kweiya berusaha menenangkannya sambil menjelaskan bahwa dialah yang mengakali ibunya dengan cara itu. Harapan agar ibunya mau menerima pria tersebut sebagai teman hidupnya, karena pria itu telah berbuat baik terhadap mereka. Ia telah memberikan sebuah kapak yang sangat berguna dalam hidup mereka nanti. Sang ibu serta merta menerima baik pikiran anaknya itu dan sejak itu mereka bertiga tinggal bersama-sama.

Setelah beberapa waktu lahirlah beberapa anak di tengah-tengah keluarga kecil tadi, dan kedua orang tua itu menganggap Kweiya sebagai anak sulung mereka. Sedang anak-anak yang lahir kemudian dianggap sebagai adik-adik kandung dari Kweiya. Namun dalam perkembangan selanjutnya dari hari ke hari hubungan persaudaraan antara mereka semakin memburuk karena adik-adik tiri dari Kweiya merasa iri terhadap Kweiya.

Pada suatu hari, sewaktu orang tua mereka sedang mencari ikan, kedua adiknya bersepakat mengeroyok Kweiya serta mengiris tubuhnya sehingga luka-luka. Karena merasa kesal atas tindakan kedua adiknya itu, Kweiya menyembunyikan diri di salah satu sudut rumah sambil meminta tali dari kulit pohon “Pogak nggein” (genemo) sebanyak mungkin. Sewaktu kedua orang tua mereka pulang ditanyakan di mana Kweiya tetapi kedua adik tirinya tidak berani menceritakan di mana Kweiya berada. Lalu adik bungsu mereka, yaitu seorang anak perempuan yang sempat menyaksikan peristiwa perkelahian itu menceritakannya kepada kedua orang tua mereka. Mendengar cerita itu si ibu tua merasa ibah terhadap anak kandungnya. Ia berusaha memanggil-manggil Kweiya agar datang. Tetapi yang datang bukannya Kweiya melainkan suara yang berbunyi: “Eek..ek, ek, ek, ek!” sambil menyahut, Kweiya menyisipkan benang pintalannya pada kakinya lalu meloncat-loncak di atas bubungan rumah dan seterusnya berpindah ke atas salah satu dahan pohon di dekat rumah mereka.

Ibunya yang melihat keadaan itu lalu menangis tersedu-sedu sambil bertanya-tanya apakah ada bagian untuknya. Kweiya yang telah berubah diri menjadi burung ajaib itu menyahut bahwa, bagian untuk ibunya ada dan disisipkan pada koba-koba (payung tikar) yang terletak di sudut rumah. Ibu tua itu lalu segera mencari koba-koba kemudian benang pintalan itu disisipkan pada ketiaknya lalu menyusul anaknya Kweiya ke atas dahan sebuah pohon yang tinggi di hutan rumah mereka. Keduanya bertengger di atas pohon sambil berkicau dengan suara: wong, wong, wong, wong, ko,ko, ko, wo-wik!!

Dan sejak saat itulah burung cenderawasih muncul di permukaan bumi di mana terdapat perbedaan antara burung cenderawsih jantan dan betina. Burung cenderawasih yang buluhnya panjang di sebut siangga sedangkan burung cenderawasih betina disebut: hanggam tombor yang berarti perempuan atau betina. Keduanya dalam bahasa Iha di daerah Onin, Fak-fak.

Adik-adik Kweiya yang menyaksikan peristiwa ajaib itu meresa menyesal lalu saling menuduh siapa yang salah sehingga ditinggalkan ibu dan kakak mereka. Akhirnya mereka saling melempari satu sama lain dengan abu tungku perapian sehingga wajah mereka ada yang menjadi kelabu hitam, ada yang abu-abu dan ada juga yang merah-merah, lalu mereka pun berubah menjadi burung-burung. Mereka terbang meninggalkan rumah mereka menuju ke hutan rimba dengan warnanya masing-masing. Sejak itu hutan dipenuhi oleh aneka burung yang umumnya kurang menarik di bandingkan cenderawasih.

Ayah mereka memanggil Kweiya dan istrinya dan menyuruh mengganti warna buluh, namun mereka tidak mau. Ayah mereka khawatir buluh yang indah itu justru mendatangkan mala petaka bagi mereka. Dia berpikir suatu ketika orang akan memburuh mereka termasuk ketiga anaknya yang lain. Ayah merasa kecewa kerena mereka tidak mengindahkan permintaan mereka untuk berubah buluh. Kini Ayahnya kesepian dan sedih, ia melipat kedua kaki lalu, menjemburkan dirinya ke dalam laut dan menjadi penguasa laut “Katdundur”.